Joko tinggal di sebuah rumah mungil sekaligus sanggar bernama Naladerma yang terletak di salah satu gang kecil di Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo. Begitu memasuki rumahnya, tampak meja kaca besar yang dipenuhi kain mori, kuas, dan cat yang biasa ia gunakan untuk membuat wayang beber.
Ayah 2 anak dan kakek 2 cucu itu tampak antusias saat ditemui detikJateng di kediamannya. Dengan hati-hati, ia langsung memperlihatkan satu-persatu karya wayang beber goresan cat warna-warni di atas kain mori miliknya itu.
Rambut Joko sudah putih seluruhnya, pun saat berjalan ia harus pelan-pelan dan sedikit gemetaran. Namun hal tersebut tidak menghilangkan semangatnya untuk terus melestarikan wayang beber. Bahkan terhitung sudah hampir empat tahun ia mengerjakan wayang beber sepanjang 21 meter yang berisi 24 cerita rakyat.
Joko menjelaskan penamaan wayang beber sendiri diambil karena cara memainkannya yang dilakukan dengan membentangkan atau membeberkan kain panjang bergambar cerita rakyat. Kain yang sudah digulung itu dibeberkan agar keseluruhan cerita bisa tampak.
"Wayang beber itu isinya cerita rakyat. Itu divisualke, dipajang pakai ampok, tempat nancepke (menancapkan) tongkatnya itu. Tancepke, terus diputar. Itu cara memainkannya," terang Joko saat ditemui,Minggu (7/1/2024).
Alunan musik lawas dari radio menemani perbincangan santai siang itu. Joko pun bernostalgia dan menceritakan alasannya tertarik menggeluti kesenian wayang beber adalah karena gemar memvisualisasikan cerita rakyat ke dalam selembar kain panjang.
Belajar dari Abdi Dalem Keraton Solo
Joko mengatakan ia mulai mempelajari wayang beber saat masih duduk di bangku Sekolah Rakyat tahun 1959. Ia menimba ilmu langsung dari abdi dalem Keraton Kasunanan, Raden Ngabehi Atmosoepmo, yang juga merupakan tetangga rumahnya.
"Wayang beber dulu sampai bisa, terus saya pindah neng nggon (di tempat) batik, jadi desainer di Jakarta. Pulang, kawin, terus menggeluti ini (wayang beber), sama batik. Kalau wayang beber ora iso njagakne duite (nggak bisa diandalkan untuk pemasukannya). Lah sebulan ngenteni rampung (nunggu selesai)," jelasnya.
"Dulu sama Eyang Ngabehi ketat sekali. Nyungging kuning yo kuning tok, hitam ya hitam tok, berapa bulan itu. Kalau sudah selesai berarti bisa, baru bisa belum boleh buat sendiri. SR masuk siang, lah nyunggingnya (pagi) sampai siang," sambungnya.
Dalam membuat wayang beber sendiri, Joko memulai tahapan dengan menggambar sketsa 24 cerita rakyat di atas gulungan mika. Sketsa tersebut kemudian ditempelkan di bawah kain agar bisa dijiplak di kain yang akan digunakan. Saat proses sungging (pewarnaan), ia akan menggunakan cat tembok warna-warni.
"Dulu catnya itu cat asli yang khusus wayang beber. Tapi sekarang tokone digoleki wae wes do (dicari saja sudah pada) tutup, katanya ada di Wonogiri. Wah saya kalau ke Wonogiri yo kangelan (kesulitan)," tuturnya.
Belum Ada Penerus
Menapaki umurnya yang semakin tua, Joko sendiri mengaku belum memiliki penerus untuk melanjutkan profesinya sebagai juru sungging wayang beber yang mengikuti pakem. Baik di Kota Solo, Baluwarti, bahkan dari keluarganya sendiri.
Meski begitu, masih banyak mahasiswa dari ISI, UNS, serta UMS yang sering singgah ke kediaman Joko untuk belajar wayang beber darinya. Joko yang masih aktif membuat wayang beber itu mengaku antusias untuk membagikan ilmunya kepada siapapun yang ingin belajar.
"Alon-alon (pelan-pelan), lama dibuatnya juga tidak terhitung. Lah ini saya bikin yang terakhir 21 meter, 80 sentimeter. Sudah empat tahun, belum selesai," terangnya sambil memperlihatkan karya terakhirnya yang belum selesai itu.
Joko sendiri beberapa kali sering diundang beberapa pihak untuk memamerkan karyanya. Namun, belum ada partisipasi dari pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Solo maupun Keraton untuk bisa ikut melestarikan wayang beber.
"Tapi saya ya yo wis ben (ya sudah biar), nggak dihargai nggak apa-apa. Paling wali kota lima tahun ya sudah ganti. Tapi ya sempat lurah-lurah sini tak kasih itu semua, tak kasih loh. (Kenapa?) Ya senang saja," ungkapnya.
"Miris, eman-eman kalau nggak ada penerusnya. Ya ada yang masih, tapi nggak pakem (mengikuti aturan). Mirisnya ngko yen aku ra ono terus sopo? (kalau nggak ada saya terus siapa?)," sambungnya.
Joko berharap sebelum ajal menjemputnya, ia bisa menemukan penerusnya terlebih dahulu. Seseorang yang bisa mengerti aturan-aturan atau pakem dalam pembuatan wayang beber, yang kemudian ikut meneruskan dalam pelestarian wayang beber agar bisa terus eksis di tengah masyarakat.(red.w)
FOLLOW THE Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow Rakyat-Indonesia.com | REFERENSI BERITA INDONESIA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram